Dua Pasang Hati
A
A
A
Entah, nggak sengaja nabrak ataupun waktu Lara ketakutan kemaren... cowok itu malah mengacak rambut Lara penuh kasih sayang. Keenan juga nggak kalah, he kissed you, accompanied you when you need him.
He knows your flaws , suara hatinya mengacaukan pikiran baiknya soal Keenan. Perasaan nyeri dan sakit menusuk pelataran hatinya... tapi sejak dulu Keenan memang nggak pernah punya perhatian khusus padanya. Lara mendesah nafas bingung. Sebaiknya gue jangan cepat ambil keputusan, deh , simpulnya kemudian.
Waktu makan siang pun tiba-tiba saja Lara dikejutkan oleh Gavin yang udah nongol di depan pintu ruangan Lara dengan senyum manis yang biasa dipasangnya. ”Mau lunch bareng?” tanya cowok itu tanpa basa-basi. Tentu saja rekanrekannya, apalagi Panji yang jelasjelas sebel banget sama Gavin, langsung memasang wajah cemberut, terlebih setelah Lara menganggukkan kepalanya.
Biar staf perempuan maupun laki-laki, mengepalkan tangannya kesal. ”Ya ampun!!! Kalah pamor deh gue beneran!” umpat Panji kesal, si playboy Arab tersebut membuang muka, saat Lara dan Gavin berjalan di depannya. ”Mas Panji, makan dulu ya.” Gavin malah dengan sopannya pamit makan siang.
”Dasar berondong gatel!” maki Panji dari belakang. Sementara beberapa teman-temannya sudah tertawa terpingkal-pingkal melihat kedengkian Panji pada Gavin. ”Makanya Mas Panji, jangan suka ngerendahin orang. Kena batunya deh, hihihi,” Dodo menyindirnya sambil tertawa lebar.
”Diem lo, Kribo! Berisik lo!” Panji nggak tanggung-tanggung memukul dahi Dodo kencang. Meanwhile... ”Mau makan apa, Ra?” tanya Gavin, ketika mereka sampai di Senayan City. ”Apa ya...?” Pandangan mata gadis itu menyapu tiap-tiap restoran yang tersedia di jajaran pusat perbelanjaan.
”Gimana kalo, tempat kita pertama kali ketemu?” usul Gavin tiba-tiba. Lara menimbang sebentar, ”Bolehboleh. Gue juga pengen lasagna nih!” Mereka pun segera menuju Kitchenette, sebuah restoran ala Amerika yang juga menjajakan berbagai macam menu Pasta. Sesampainya di sana, keduanya langsung dipersilakan masuk ke restoran, dan tanpa basa-basi ia memesannya.
”Lo makan Pasta juga, Vin? Kan lagi sakit...” peringat Lara, cowok itu tersenyum kemudian. ”Iya deh, nggak jadi pasta. Gue mesen yang lain.” Gavin berkata sambil melempar tatapan sebal pada Lara. ”Kalo gitu... beef lasagna-nya satu, sama Chicken corn soup-nya satu ya, Mbak,” pesan Lara.
”Minumnya mau apa, Mbak?” ”Jasmine hot tea satu ya, Mbak,” Gavin memesan lebih dulu. ”Mau apa, Ra?” ”Samain aja deh, nemenin yang lagi sakit,” senyum Lara pada Gavin. ”Baik, Mbak, Mas. Ditunggu ya pesanannya.” Si pelayan mengakhiri tugasnya lalu kembali ke belakang.
Tinggalah Lara dan Gavin yang duduk manis dan saling diam tanpa ada satu katapun yang terucap. ”Hmm, Vin. Lo dulu kuliah di Indo atau di luar?” tanya Lara, membuka obrolan ringan. ”States, lima tahunan. Gue kerja di sana dulu, baru balik sini. Lo?” jawabnya. Lara tersenyum malu-malu,
”Gue di Indo aja, deh. Belum cukup duit kalo keluar.” Si ganteng itu tersenyum, ”Oh, ya nggak apa-apa juga sih. Yang penting bisa kerja.” ”Dulu sebenernya nilai gue paspasan mulu, Vin. Gue nggak pinterpinter amat,” Lara mengaku jujur. ”Nilai emang nggak pernah ngejamin seseorang sukses di kerjaan sih.
Yang penting kerja keras, niat dan jujur aja,” ucap cowok itu sambil meneguk jasmine hot tea-nya. Lara bertepuk tangan kecil, sebagai tanda kekagumannya pada cowok tampan satu ini. Perfect ass banget nggak sih nih cowok? Ganteng iya, pinter iya, bisa kerja iya, mandiri iya. Siapapun yang jadi pacarnya sih... beruntung dunia akhirat. ”Kenapa jadi tepokin gue sih?” tatap cowok itu bingung.
”Nggak pa-pa, kagum aja sama lo. Hehe... because maturnity isnt something that we can judge from ages?” Lara mengingatkan kata-kata cowok itu kemarin siang yang kontan membuat cowok itu tersenyum lebar. ”Itu pujian apa sindiran ya?” Cowok itu pura-pura bodoh, sambil tersenyum jahil pada Lara.
”Pujian lah, Vin! Eh, tapi bener lho, gue rasa lo jauh lebih dewasa dari gue, deh.” ”Gimana lo bisa tau?” ”Dari cara berpikir lo yang nggak pernah main-main, walaupun usia lo masih muda gini. Berhasil di kerjaan... temen-temen di kantor, ya except Panji lah, ya. Mereka semua respek kok sama lo.” (bersambung
Vania m. Bernadette
He knows your flaws , suara hatinya mengacaukan pikiran baiknya soal Keenan. Perasaan nyeri dan sakit menusuk pelataran hatinya... tapi sejak dulu Keenan memang nggak pernah punya perhatian khusus padanya. Lara mendesah nafas bingung. Sebaiknya gue jangan cepat ambil keputusan, deh , simpulnya kemudian.
Waktu makan siang pun tiba-tiba saja Lara dikejutkan oleh Gavin yang udah nongol di depan pintu ruangan Lara dengan senyum manis yang biasa dipasangnya. ”Mau lunch bareng?” tanya cowok itu tanpa basa-basi. Tentu saja rekanrekannya, apalagi Panji yang jelasjelas sebel banget sama Gavin, langsung memasang wajah cemberut, terlebih setelah Lara menganggukkan kepalanya.
Biar staf perempuan maupun laki-laki, mengepalkan tangannya kesal. ”Ya ampun!!! Kalah pamor deh gue beneran!” umpat Panji kesal, si playboy Arab tersebut membuang muka, saat Lara dan Gavin berjalan di depannya. ”Mas Panji, makan dulu ya.” Gavin malah dengan sopannya pamit makan siang.
”Dasar berondong gatel!” maki Panji dari belakang. Sementara beberapa teman-temannya sudah tertawa terpingkal-pingkal melihat kedengkian Panji pada Gavin. ”Makanya Mas Panji, jangan suka ngerendahin orang. Kena batunya deh, hihihi,” Dodo menyindirnya sambil tertawa lebar.
”Diem lo, Kribo! Berisik lo!” Panji nggak tanggung-tanggung memukul dahi Dodo kencang. Meanwhile... ”Mau makan apa, Ra?” tanya Gavin, ketika mereka sampai di Senayan City. ”Apa ya...?” Pandangan mata gadis itu menyapu tiap-tiap restoran yang tersedia di jajaran pusat perbelanjaan.
”Gimana kalo, tempat kita pertama kali ketemu?” usul Gavin tiba-tiba. Lara menimbang sebentar, ”Bolehboleh. Gue juga pengen lasagna nih!” Mereka pun segera menuju Kitchenette, sebuah restoran ala Amerika yang juga menjajakan berbagai macam menu Pasta. Sesampainya di sana, keduanya langsung dipersilakan masuk ke restoran, dan tanpa basa-basi ia memesannya.
”Lo makan Pasta juga, Vin? Kan lagi sakit...” peringat Lara, cowok itu tersenyum kemudian. ”Iya deh, nggak jadi pasta. Gue mesen yang lain.” Gavin berkata sambil melempar tatapan sebal pada Lara. ”Kalo gitu... beef lasagna-nya satu, sama Chicken corn soup-nya satu ya, Mbak,” pesan Lara.
”Minumnya mau apa, Mbak?” ”Jasmine hot tea satu ya, Mbak,” Gavin memesan lebih dulu. ”Mau apa, Ra?” ”Samain aja deh, nemenin yang lagi sakit,” senyum Lara pada Gavin. ”Baik, Mbak, Mas. Ditunggu ya pesanannya.” Si pelayan mengakhiri tugasnya lalu kembali ke belakang.
Tinggalah Lara dan Gavin yang duduk manis dan saling diam tanpa ada satu katapun yang terucap. ”Hmm, Vin. Lo dulu kuliah di Indo atau di luar?” tanya Lara, membuka obrolan ringan. ”States, lima tahunan. Gue kerja di sana dulu, baru balik sini. Lo?” jawabnya. Lara tersenyum malu-malu,
”Gue di Indo aja, deh. Belum cukup duit kalo keluar.” Si ganteng itu tersenyum, ”Oh, ya nggak apa-apa juga sih. Yang penting bisa kerja.” ”Dulu sebenernya nilai gue paspasan mulu, Vin. Gue nggak pinterpinter amat,” Lara mengaku jujur. ”Nilai emang nggak pernah ngejamin seseorang sukses di kerjaan sih.
Yang penting kerja keras, niat dan jujur aja,” ucap cowok itu sambil meneguk jasmine hot tea-nya. Lara bertepuk tangan kecil, sebagai tanda kekagumannya pada cowok tampan satu ini. Perfect ass banget nggak sih nih cowok? Ganteng iya, pinter iya, bisa kerja iya, mandiri iya. Siapapun yang jadi pacarnya sih... beruntung dunia akhirat. ”Kenapa jadi tepokin gue sih?” tatap cowok itu bingung.
”Nggak pa-pa, kagum aja sama lo. Hehe... because maturnity isnt something that we can judge from ages?” Lara mengingatkan kata-kata cowok itu kemarin siang yang kontan membuat cowok itu tersenyum lebar. ”Itu pujian apa sindiran ya?” Cowok itu pura-pura bodoh, sambil tersenyum jahil pada Lara.
”Pujian lah, Vin! Eh, tapi bener lho, gue rasa lo jauh lebih dewasa dari gue, deh.” ”Gimana lo bisa tau?” ”Dari cara berpikir lo yang nggak pernah main-main, walaupun usia lo masih muda gini. Berhasil di kerjaan... temen-temen di kantor, ya except Panji lah, ya. Mereka semua respek kok sama lo.” (bersambung
Vania m. Bernadette
(ars)